Karawang Kota Pangkal Perjuangan

Detik-Detik Proklamasi

Detik-Detik Proklamasi

Monumen Rawagede

Monumen Rawagede

Selasa, 18 Januari 2011

PERBAIKAN KUALITAS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

 Akhmad Arif Musadad. Perbaikan Kualiatas Pembelajaran Sejarah melalui Optimalisasi Penerapan Proses Historiografi dalam Pembelajaran di SMA Negeri Colomadu. FKIP – Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Rumusan masalah dalam pengembangan ini adalah: “bagaimanakah upaya memperbaiki kualitas pembelajaran sejarah melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran di SMA Negeri Colomadu?”. Masalah rendahnya kualitas pembelajaran itu bersumber dari rendahnya kemampuan mengajar guru, sebagaimana yang tampak pada saat diadakan observasi awal, yaitu: (1) suasana pembelajaran kurang kondusif, (2) Cara penyampaian materi didominasi oleh metode ceramah yang membosankan, sedangkan guru kurang menguasai materi, (3) guru hanya menyampaikan materi tanpa memotivasi siswa, (4) aktivitas belajar siswa rendah, dan (5) hubungan antara guru dengan siswa terkesan kaku.
Pengembangan ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran sejarah melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran di SMA Negeri Colomadu.
Pengembangan ini dilaksanakan dengan “proses pengkajian berdaur” yang meliputi empat tahap kegiatan, yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Beberapa tindakan perbaikan yang dilakukan adalah: (1) diskusi tentang pembelajaran sejarah (yang berkualitas), (2) diskusi tentang metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah, khususnya ditekankan pada penerapan proses historiografi, (3) latihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan (4) les model pembelajaran, untuk meningkatkan kemampuan guru melaksanakan prosedur pembelajaran, dan peningkatan keterampilan menerapkan proses historiografi. Pengembangan ini dilaksanakan dalam dua siklus, yaitu: siklus I sebagai implementasi tindakan, dan siklus II sebagai perbaikan.
Hasil pengembangan menunjukkan bahwa setelah diadakan tindakan, kemampuan guru menerapkan proses historiografi dalam pembelajaran sejarah semakin meningkat. Peningkatan itu diikuti juga oleh perbaikan kualitas pembelajarannya. Hal itu ditandai dengan: (1) kemampuan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) kemampuan melaksanakan prosedur pembelajaran, dan (3) kemampuan melaksanakan hubungan yang harmonis di dalam kelas. Perbaikan itu pada akhirnya juga berakibat pada: (1) peningkatan aktivitas belajar siswa, dan (2) terciptanya suasana pembelajaran yang kondusif.
Kata kunci: Kualitas pembelajaran, proses historiografi, pembelajaran sejarah.

ABSTRACT
Akhmad Arif Musadad, etc. The Improvement of History Learning Quality through the Optimisation of Historiography Process Application in Learning in SMA Negeri Colomadu. FKIP – Surakarta Sebelas Maret University.
The problem statement in this development is: “what attempts should be done to improve the history learning quality through the historiography process application in learning in SMA Negeri Colomadu? Such low learning quality problem is due to the teacher’s lower teaching capability, as apparent in the initial observation: (1) less conducive learning situation, (2) Material delivery method dominated with boring lecture method, while the teacher insufficiently masters the material, (3) teacher only conveys the material without motivating the students, (4) students’ lower learning activity, and (5) the rigid relationship between teacher and students.
This development aims to improve the history learning quality through the historiography process application in learning in SMA Negeri Colomadu.
This development was conducted using “cycled examination process” encompassing four activity stages: planning, action, observation, and reflection. Several improvement actions conducted include: (1) discussion about the history learning (high quality), (2) discussion about method, strategy and approach in history learning, particularly emphasizing on the historiography process application, (3) training of learning implementation planning, and (4) learning model course, to improve the teacher’s capability in implementing the learning procedure, and the skill improvement of historiography process. This development was done in two cycles: cycle I as the action implementation, and cycle II as the improvement.
The result of development shows that after the action implementation, teacher’s capability of applying historiography process in history learning increase. This increase is also followed with the learning quality increase. This is characterized by: (1) the capability of designing the learning implementation plan, (2) the capability of implementing the learning procedure, and (3) the capability of establishing a harmonic relationship within the class. Such improvement finally results in: (1) the increased students’ learning activity, and (2) the establishment of a conducive learning situation.
Keywords: Learning quality, historiography processes, history learning.

PENDAHULUAN
Secara umum Pendidikan Nasional kita bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Mengingat begitu pentingnya peranan pendidikan, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Meskipun demikian produktivitas pendidikan kita dinilai masih rendah (Engkosjwara, 1986).
Rendahnya mutu pendidikan sebenarnya terkait dengan banyak faktor, di antaranya adalah: guru dan tenaga kependidikan lainnya, sarana dan prasarana, dan sistem penilaian. Meskipun demikian Tilaar (1993) berpandangan bahwa rendahnya mutu pendidikan terutama disebabkan oleh rendahnya kualifikasi tenaga kependidikan. Di antara tenaga kependidikan tersebut, maka guru lah yang selama ini mendapat tudingan. Tudingan ini dapat dijustifikasi karena guru sebagai garda terdepan yang cukup menentukan berhasil atau gagalnya pembekalan sumber daya manusia di Indonesia, termasuk inovasi dan mutu pendidikan di tingkat sekolah (Fullan, 1992).
Berpijak dari uraian di atas, maka perlu segera dicarikan upaya praktis yang dapat membantu guru meningkatkan kualitas mengajarnya. Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan adalah dengan melaksanakan pengembangan inovasi pembelajaran di sekolah (PIPS). Pengembangan ini perlu segera dilaksanakan terutama untuk perbaikan kualitas pembelajaran sejarah di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar. Selama ini pembelajaran sejarah di SMA Negeri Colomadu kurang berkualitas. Hal ini tampak pada saat diadakan survey; misalnya pembelajaran di klas 2 SMA Negeri Colomadu yang dilaksanakan oleh Dra. Suras Harmiawati, maupun pembelajaran sejarah di klas 1 SMA Negeri Colomadu oleh Afiati Budiasih, S.Pd. Situasi pembelajaran di kedua klas yang berbeda itu terasa sangat monoton, dan didominasi oleh guru. Penyajian materi dengan metode ceramah kurang memotivasi, dan siswa cenderung pasif. Rendahnya kualitas pembelajaran yang dikelola kedua guru tersebut dapat diungkapkan, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut: (1) Suasana belajar tidak kondusif: ada siswa yang terlambat masuk kelas, di dalam kelas banyak siswa yang kurang memperhatikan guru (ada yang ngantuk, ada yang bisik-bisik dengan teman semeja, ada yang menggambar/mencorat-coret kertas). Sedangkan guru cuek, tidak berupaya menegur. (2) Guru menyampaikan materi dengan metode ceramah tanpa dikombinasikan dengan metode yang lain, guru terkesan kurang menguasai materi, hal ini tampak dari: penjelasan materi yang kurang sistematis, seringnya materi diulang-ulang, dan guru menjelaskan sambil buka-buka buku. (3) Guru hanya menjelaskan materi, peristiwa demi peristiwa, tahun, tokoh, dan tempat, tidak berusaha memancing motivasi siswa. (4) Aktivitas belajar siswa rendah, hal ini tercermin dari: siswa pasif dalam mengikuti pelajaran, tidak ada yang bertanya, bahkan kalau ditanya tidak ada yang menjawab, kalau ditunjuk baru menjawab, dengan jawaban yang sekenanya. (5) Hubungan antara guru dan siswa di dalam kelas terkesan kaku, hal ini tercermin dari: guru tampak tegang dalam menyampaikan materi, kurang memperhatikan siswa, bahkan mengajar tidak diselingi dengan humor, sedangkan siswa diam dengan raut muka yang tidak cerah, dan duduknya kurang rileks.
Masalah pembelajaran yang terungkap melalui observasi terhadap PBM tersebut kemudian digali lebih dalam. Untuk menggali masalah tersebut dilakukan melalui wawancara dan diskusi dengan: guru-guru sejarah, kepala sekolah, dan siswa SMA Negeri Colomadu. Dari para guru terungkap: (a) metode yang paling tepat untuk mata pelajaran sejarah adalah metode ceramah, sebab metode ceramah dapat digunakan untuk mengajar dengan cepat, mengingat materi sejarah yang banyak dengan alokasi waktu yang terbatas. Kalau mau ujian siswa diberi tahu sehingga dapat belajar sendiri, (b) Mengajar bersifat situasional, dengan anggapan tersebut berarti pengajaran yang dilaksanakan seringkali tidak sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, apalagi guru tidak membuat/memperbaiki RPP yang telah dipakai tahun sebelumnya, yang ternyata masih banyak terdapat kesalahan, baik secara konseptual maupun prosedural. (c) Guru tidak perlu bersikap baik terhadap siswa, karena hal itu akan mengurangi kewibawaan guru. Sedangkan kepala sekolah mengungkapkan: pada umumnya guru terkesan kurang senang jika masalah dalam pembelajarannya dicampuri orang lain, sehingga guru tidak mau mengemukakan masalahnya, bahkan cenderung menutup-nutupi.
Sementara itu, dari para siswa antara lain terungkap sebagai berikut: (a) Mata Pelajaran sejarah kurang begitu penting. (b) Materi sejarah mudah dipelajari sendiri, kalau perlu besuk tes nanti malam belajar di rumah juga bisa. (c) Cara penyajian materi kurang menarik, membosankan. (d) Buku-buku yang dimiliki siswa sangat terbatas.
Setelah masalah digali dari berbagai sumber, tim pengembang kembali mendiskusikan pangkal permasalahannya dengan guru-guru sejarah. Dari hasil pembahasan akhirnya disepakati bahwa masalah rendahnya kualitas dalam pembelajaran tersebut disebabkan rendahnya kemampuan mengajar guru. Secara lebih rinci rendahnya kemampuan guru dalam mengajar sejarah dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) guru kurang mampu membuat persiapan mengajar, (2) guru kurang menguasai materi, (3) cara mengajar guru monoton dan membosankan, karena metode yang dipakai hanya ceramah dengan sedikit sekali dikombinasikan dengan metode tanya jawab, (4) guru kurang mampu melaksanakan prosedur pembelajaran, dan (5) guru kurang mampu menciptakan hubungan antar pribadi yang harmonis di dalam kelas.
Dalam diskusi selanjutnya antara guru dan dosen pengembang untuk mengidentifikasi alternatif tindakan pemecahan, akhirnya disepakati bahwa masalah rendahnya kemampuan mengajar guru yang berakibat pada rendahnya kualitas pembelajaran, sangat mungkin bersumber pada faktor kejenuhan siswa terhadap cara mengajar guru yang monoton, dan kurang menantang siswa yaitu dengan metode ceramah. Sedangkan guru sendiri kurang mampu menggunakan metode ceramah dengan baik dan benar. Setelah diadakan sharing ideas mengenai karakteristik, prosedur dan manfaat penerapan proses historiografi, selanjutnya disepakati bahwa masalah tersebut dapat diatasi dengan optimalisasi penerapam proses historiografi dalam pembelajaran sejarah. Untuk itu dirasakan sangat perlu untuk mengadakan pengembangan inovasi pembelajaran di sekolah mengenai: “Perbaikan Kualitas Pembelajaran Sejarah Melalui Optimalisasi Penerapan Proses Historiografi dalam Pembelajaran di SMA Negeri Colomadu”.
Berpijak dari uraian di atas, maka permasalahan dalam pengembangan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah upaya memperbaiki kualitas pembelajaran sejarah melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran di SMA Negeri Colomadu?”.
Adapun tindakan yang ditawarkan dalam pengembangan ini adalah: (1) Untuk menanamkan konsep yang benar, maka diadakan diskusi tentang: pembelajaran sejarah (yang berkualitas), dan metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah, khususnya penerapan proses historiografi. (2) Latihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran. (3) Les model pembelajaran, yang difokuskan pada peningkatan kemampuan melaksanakan prosedur pembelajaran, serta keterampilan dalam menerapkan proses historiografi. Sedangkan langkah-langkah dalam proses historiografi itu sendiri adalah: (a) penentuan pokok bahasan (b) Heuristik, yaitu kegiatan mengumpulkan jejak atau menghimpun berbagai macam sumber sejarah, (c) Kritik, yaitu kegiatan untuk memilih informasi/sumber yang dapat diseleksi atau dianalisis dengan melakukan kritik intern dan kritik ekstern, (d) interpretasi, yaitu kegiatan menafsirkan dan menetapkan makna, serta hubungan dari fakta-fakta yang ada, dan (e) penyimpulan, yaitu kegiatan memilih makna dan menghubungkannya secara kausalitas dan kronologis sehingga semua permasalahan dalam pokok bahasan terjawab.
Pengembangan Inovasi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran sejarah melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran di SMA Negeri Colomadu.
Menurut Paul L Dressel dan Dora Marcus (1982) mengajar bukan sekedar mengetahui dan menyalurkan pengetahuan, melainkan suatu usaha yang dimaksudkan untuk mengilhami dan membantu siswa untuk belajar. Guru tidak lagi menjadi pusat kegiatan yang menentukan setiap aktivitas siswa. Justru siswa lah yang menjadi pusat, mereka bebas berpikir dan bertindak (Hicks et.al, 1970). Ini tidak berarti guru kehilangan tanggung jawab, sebab guru berperan sebagai pengelola pengajaran (Nasution, 1995). Sedangkan pendapat Eisner dalam (Craig, Mehrens, dan Clarizio, 1975) bahwa pembelajaran harus dilandasi dengan penciptaan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk belajar.
Kualitas pembelajaran dapat dikaji dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek: proses, karakteristik guru, dan hasil belajar (Lucio dan McNeil, 1969). Semua aspek tersebut saling terkait dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Sedangkan tujuan pembelajaran (pendidikan) mencakup tiga aspek, yaitu: koqnitif, affektif, dan psikomotorik (Eggen, Kauchak, dan Harder, 1979). Tujuan koqnitif berkaitan dengan usaha pengembangan intelektual siswa, affektif berhubungan dengan perkembangan sosial dan emosional, sedangkan psikomotorik berkenaan dengan perkembangan aspek ketrampilan siswa. Hal itu berarti pembelajaran dapat dikatakan berkualitas apabila mampu mengembangkan aspek-aspek tersebut pada diri siswa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Dick dan Reiser (1989) bahwa pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa mendapatkan ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang telah ditetapkan.
Kauchak dan Eggen (1993) mensyaratkan suatu karakteristik yang harus dimiliki oleh guru yang berkualitas, yaitu: mempunyai pengharapan yang tinggi terhadap para siswanya, memberikan contoh perilaku yang diinginkan, mengajar dengan penuh semangat, dan mau mendengarkan siswanya; menggunakan bahasa yang tepat, penyajian materi yang logis dan berkesinambungan, penggunaan isyarat yang jelas, perhatian yang tepat, dan keselarasan antara lisan dan tindakan adalah penting dalam komunikasi yang efektif; guru mengajar tepat pada waktunya, mempersiapkan materi sebelumnya, dan mempunyai kebiasaan yang baik.
Pada umumnya guru kurang menyadari peranannya dalam membina pelajaran sejarah. Hal ini tercermin dari seringnya pembelajaran di sekolah mendapat sorotan tajam dari masyarakat, karena ternyata pembelajaran sejarah diselenggarakan dengan cara-cara yang kurang memadai (Widja, 1989).
Dalam pembelajaran sejarah (Bank, 1985), (Sylvester, 1973), dan (Mays, 1974) sangat mengharapkan digunakannya sumber-sumber sejarah dalam pengajaran di sekolah. Siswa harus berusaha menemukan bukti-bukti dari peristiwa masa lampau (sumber sejarah), mengolah atau mengadakan kritik terhadap sumber tersebut, menafsirkan, dan kemudian menyusunnya menjadi ceritera sejarah. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi di kelas, tetapi lebih berperan dalam banyak dimensi, sebagai seorang pembimbing aktivitas siswa. Tugas siswa seperti seorang sejarawan professional, meskipun baru pada tingkat perkenalan. Mereka dapat mengumpulkan, mengolah, menafsirkan, dan menyimpulkan sumber-sumber dengan berbagai macam cara, bahkan terpaksanya buku pelajaran sejarah di sekolah pun dapat dipakai sebagai sumber, tergantung dari bagaimana kita memperlakukan sumber tersebut (Hamid Hasan, 1985). Metode atau teknik ini selanjutnya dinamakan proses historiografi.
Gottschalk (1981) mengemukakan empat langkah dalam proses historiografi, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan penyajian. Sementara itu Bank (1985) memulai kegiatan ini dengan penentuan topik/permasalahan, mengumpulkan dokumen, untuk kemudian dianalisis dalam rangka menjawab dan menyimpulkan.
Dengan penggunaan proses historiografi, siswa tidak hanya mempelajari produk sejarah seperti dalam buku teks atau sumber lain, tetapi juga mempelajari proses pencapaian produk. Siswa memahami bahwa penulisan cerita sejarah dibuat dari berbagai macam sumber dengan berbagai sudut pandang. Dengan demikian kemampuan kritik dan mengemukakan pendapat dapat ditingkatkan. Siswa akan mendapatkan generalisasi yang dapat membantu untuk mengetahui perilaku manusia masa lampau, sekarang, dan yang akan datang.
Metode Pengembangan Inovasi
Pengembangan ini dilaksanakan di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar selama sepuluh bulan, yaitu mulai bulan Februari sampai bulan November 2008. Subyek pengembangan ini adalah siswa di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar, khususnya siswa klas XI. Siswa klas XI di SMA Negeri Colomadu berjumlah 260 anak, yang terbagi dalam tujuh kelas, yaitu tiga kelas IPA dan empat kelas IPS. Dari jumlah tersebut, 111 diantaranya laki-laki, dan 149 perempuan. Sedangkan obyeknya adalah kegiatan Proses Belajar Mengajar (PBM) pada mata pelajaran sejarah yang diampu guru-guru sejarah di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar, yang meliputi: aktivitas mengajar guru, aktivitas belajar siswa, dan suasana pembelajaran.
Metode yang dipergunakan dalam pengembangan ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK), yang dalam hal ini disebut juga pengembangan inovasi pembelajaran di sekolah (PIPS). Jenis pengembangan ini sangat praktis, yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas, dan upaya perbaikannya dilakukan dengan melaksanakan tindakan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diangkat dari tugas sehari-hari di kelas (Kasihani Kasbolah, 2001). Penggunaan metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kualitas pembelajaran dapat diatasi guru sebagai langkah perbaikan profesionalisme dengan memberi kebebasan pengembangan kurikulum, materi, dan strategi pembelajaran. Masalah teridentifikasi, dipahami, dan dipecahkan secara kolaboratif (Hopkins, 1993), sehingga ditemukan alternatif terbaik.
Pengembangan ini bersifat situasional, artinya tindakan-tindakan perbaikan yang dilakukan, dirancang khusus dalam Pembelajaran sejarah di SMA Negeri Colomadu, sehingga belum tentu tepat jika diterapkan pada mata pelajaran maupun sekolah yang lain.
Alasan digunakannya pendekatan pengembangan ini adalah adanya kesadaran guru (pengembang) tentang rendahnya kualitas pembelajaran yang dikelolanya (sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan). Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan-tindakan nyata yang dapat secara langsung mengatasi masalah tersebut. Dalam pengembangan ini ditekankan pada upaya optimalisasi penerapan proses historiografi untuk perbaikan kualitas pembelajaran sejarah.
PIPS dapat didefinisikan sebagai pengembangan yang bersifat reflektif, yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan nyata dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukannya, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, PIPS dilaksanakan dengan “proses pengkajian berdaur” (cyclical), yang meliputi empat tahap kegiatan, yaitu: perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection). Pelaksanaan pengembangan ini dilakukan dalam dua siklus, yaitu siklus I sebagai implementasi tindakan, sedangkan siklus II sebagai perbaikan.
Sebelum menyusun rencana tindakan, pada awal pengembangan ini dilakukan pengidentifikasian dan penetapan masalah pengembangan. Secara keseluruhan rancangan pengembangan ini dilakukan sebagai berikut:
Tahap I: Tahap Diagnostik
Tahap ini meliputi kegiatan pengumpulan data tentang pembelajaran sejarah, yang meliputi: identifikasi masalah, perumusan masalah, analisis masalah, dan perumusan hipotesis tindakan. Pada tahap ini sumber data diperoleh dari para guru, kepala sekolah, para siswa, dan proses belajar mengajar.
Tahap II: Tahap Terapi
Tahap ini meliputi kegiatan: perencanaan tindakan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi (siklus I). Pada tahap ini melibatkan peran aktif secara kolaboratif antara dosen pengembang, guru pengembang, dan siswa. Alur kegiatan siklus I ini sebagai berikut:
a. Perencanaan Tindakan
Pengembang bertukar pikiran untuk menggali sejumlah alternatif tindakan yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Dari sejumlah alternatif tindakan tersebut, tim pengembang kemudian menentukan tindakan mana yang paling cocok dan dapat dilaksanakan.
Untuk mengatasi masalah yang telah ditentukan dalam pengembangan ini, tim pengembang menetapkan beberapa tindakan perbaikan, yakni: (1) Diskusi tentang hakikat pembelajaran sejarah. (2) Diskusi tentang metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah, khususnya mengenai proses historiografi. (3) Latihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran. (4) Peningkatan keterampilan guru menerapkan proses historiografi dalam bentuk les model pengajaran. Kegiatan ini untuk meningkatkan juga kemampuan guru dalam melaksanakan prosedur pembelajaran, yang meliputi kegiatan: pendahuluan, penyajian materi, dan penutup.
Selain kegiatan di atas, guru pengembang sebelum melaksanakan prosedur pembelajaran perlu mempersiapkan: rencana pelaksanaan pembelajaran yang sebelumnya telah didiskusikan bersama tim pengembang yang lain, skenario pembelajaran (kegiatan guru, kegiatan siswa, dan alokasi waktu), media pembelajaran, serta alat dan sumber pembelajaran. Sedangkan anggota pengembang yang lain menyiapkan instrumen untuk mengamati PBM yang dikelola guru pengembang, serta kriteria (indikator keberhasilan) untuk mengevaluasi, dan merefleksikan hasil observasi tersebut.
b. Pelaksanaan Tindakan
Seluruh rencana tindakan yang telah ditetapkan di atas, kemudian dilaksanakan oleh guru pengembang. Hasil dari tindakan-tindakan tersebut selanjutnya diimplementasikan oleh guru pengembang dalam pembelajaran sejarah, dan dipantau oleh dosen dan guru pengembang yang lain. Adapun penerapan proses historiografi untuk perbaikan kualitas pembelajaran sejarah adalah meliputi langkah-langkah sebagai berikut: (1) pembagian kelompok, (2) identifikasi dan perumusan masalah, (3) heuristik, (4) kritik, (5) interpretasi, (penyimpulan, dan (7) penyajian.
Tindakan ini dilakukan secara berulang-ulang, sehingga apa yang dilakukan dapat diinternalisasi oleh guru, yang hasilnya selalu dimonitor dan dievaluasi melalui kegiatan observasi dan refleksi.
c. Observasi
Pada saat guru pengembang melaksanakan pembelajaran, maka guru dan dosen pengembang yang lain mengadakan observasi yang dilakukan untuk memonitor pelaksanaan tindakan yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan ini berpedoman pada lembar observasi yang telah disepakati, dan disiapkan sebelumnya. Adapun yang menjadi fokus amatan adalah bagaimana guru mengelola PBM, yang di dalamnya meliputi: (1) bagaimana cara membuka pelajaran (menyampaikan tujuan pelajaran, apresiasi, dan pree test), (2) bagaimana cara menyajikan materi, termasuk dalam hal ini: sistematikanya, bahasa, gaya, cara memotivasi saiswa, dan pengelolaan kelas, (3) bagaimana kemampuan guru menerapkan proses historiografi dalam KBM, (4) bagaimana cara menutup pelajaran (membuat ringkasan materi pelajaran, dan melaksanakan tindak lanjut). Selain itu, observasi juga difokuskan pada : (a) aktifitas belajar siswa, meliputi: antusiasme dan partisipasi siswa dalam setiap kegiatan, cara siswa bertanya atau menjawab pertanyaan, kemampuan berpikir logis, sistematis dan kritis, kemampuan kerja sama, dan (2) suasana pembelajaran. Masing-masing indikator tersebut kemudian diberi skor (1 jika jelek sekali, 2 jika jelek, 4 jika baik, dan 5 jika sangat baik). Penilaian ini sangat tergantung dari muncul tidaknya, frekwensi, dan kualitas masing-masing indikator.
Hasil penilaian tersebut kemudian didiskusikan. Dalam kesempatan tersebut diungkapkan seluruh kelebihan dan kekurangan jalannya PBM. Tim pengembang bertukar pikiran, saling mengecek dan mengevaluasi, serta memberikan masukan demi perbaikan pada tindakan selanjutnya.
d. Analisis dan Refleksi
Pada tahap ini tim pengembang menganalisis hasil evaluasi untuk menentukan langkah-langkah perbaikan selanjutnya. Langkah-langkah: perencanaan, pelaksanaan tindakan, pemantauan dan evaluasi, serta analisis dan refleksi yang membentuk satu siklus akan diulangi sampai dua kali dalam pengembangan ini.
Hasil dan Pembahasannya
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan rumusan masalahnya, yaitu “bagaimanakah upaya memperbaiki kualitas pembelajaran sejarah melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran di SMA Negeri Colomadu?”. Jadi masalah yang dihadapi adalah rendahnya kualitas pembelajaran sejarah, yang terungkap misalnya dalam hal-hal sebagai berikut: (1) suasana belajar tidak kondusif, (2) cara penyajian dengan metode ceramah yang membosankan, bahkan guru pun terkesan kurang menguasai materi, (3) guru hanya menjelaskan materi, tanpa berusaha memotivasi siswa. (4) aktivitas belajar siswa rendah, dan (5) hubungan antara guru dan siswa terkesan kaku.
Setelah masalah tersebut digali lebih mendalam, dan hasilnya dianalisis akhirnya tim pengembang sepakat bahwa masalah rendahnya kualitas pembelajaran tersebut bersumber pada rendahnya kemampuan mengajar guru. Secara lebih rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) guru kurang mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) guru kurang menguasai materi, (3) cara mengajar guru monoton dan membosankan, karena metode yang dipakai hanya ceramah dengan sedikit sekali dikombinasikan dengan metode tanya jawab, suaranya kurang jelas, dan kurang ada penekanan terhadap materi yang dianggap penting; (4) guru kurang mampu melaksanakan prosedur pembelajaran (pendahuluan, penyajian materi, dan penutup), dan (5) guru kurang mampu menciptakan hubungan yang harmonis di dalam kelas. Hal itu menimbulkan suasana kelas kurang kondusif, kebanyakan siswa kurang memperhatikan penjelasan guru.
Disepakati bahwa masalah rendahnya kemampuan mengajar guru yang berakibat pada rendahnya kualitas pembelajaran, sangat mungkin bersumber pada faktor kejenuhan siswa terhadap cara mengajar guru yang monoton, dan kurang menantang siswa yaitu dengan metode ceramah. Sedangkan guru sendiri kurang mampu menggunakan metode ceramah dengan baik dan benar. Setelah diadakan sharing tentang karakteristik, prosedur, dan manfaat penggunaan proses historiografi, selanjutnya disepakati bahwa masalah rendahnya kualitas pembelajaran sejarah dapat diatasi melalui optimalisasi penerapan proses historiografi. Tindakan tersebut dilakukan oleh tim pengembang dengan kegiatan sebagai berikut: (1) Diskusi tentang pembelajaran sejarah; (2) Diskusi tentang metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah. Dalam hal ini ditekankan pada penanaman konsep tentang penerapan proses historiografi yang meliputi langkah-langkah: (a) pembagian kelompok, (b) membahas, mengidentifikasi, dan menentukan permasalahan yang perlu dipecahkan, (c) heuristik, (d) kritik, (e) interpretasi, (f) penyimpulan, dan (g) penyajian, (3) Pelatihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran; dan (4) Mengadakan les model pembelajaran. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mengajar terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan keterampilan dalam menerapkan proses historiografi.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan berturut-turut dalam dua siklus pengembangan ini. Setelah tindakan dilakukan dan diimplementasikan oleh guru secara berulang-ulang dalam setiap siklusnya, ternyata ada kecenderungan guru semakin mampu mengoptimalkan penerapan proses historiografi dalam pembelajaran sejarah, dan dampaknya kualitas pembelajaran pun meningkat. Artinya kesalahan dan kekurangan yang tampak sebelum diberi tindakan, secara bertahap pertemuan demi pertemuan dari satu siklus ke siklus berikutnya kesalahan dan kekurangan itu dapat teratasi. Bahkan pada pertemuan ketiga dalam siklus kedua guru-guru sejarah yang juga sebagai anggota pengembang tersebut telah mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran secara mandiri dengan baik dan benar, serta mampu mengimplementasikannya dalam pembelajaran di kelas dengan hasil yang sangat memuaskan. Pada saat itu diputuskan bahwa guru pengembang (Afiati Budiasih, S.Pd. dan Dra. Suras Harmiawati) telah mampu mengajar dengan baik. Kemampuan tersebut tercermin dari hal-hal sebagai berikut: (1) Kemampuan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) Kemampuan melaksanakan prosedur pembelajaran, terutama kaitannya dengan penerapan proses historiografi, dan (3) Kemampuan menciptakan hubungan yang harmonis dengan siswa di dalam kelas.
1. Kemampuan Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Selama ini (sebelum dilakukan tindakan dalam pengembangan ini) guru mengaku tidak pernah menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran sebelum melaksanakan prosedur pembelajaran. Menurut mereka penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dibuat secara global dan dilaksanakan sekali dalam satu semester, dan itu pun dapat digunakan secara berulang-ulang setiap semester yang sama. Hal itulah yang membuat guru tidak pernah merencanakan pelaksanaan pembelajaran, yang dilakukan biasanya hanya membaca buku paket, dan meneruskan pelajaran sebelumnya.
Setelah diskusi tentang pembelajaran sejarah (yang berkualitas), secara bertahap terjadi perubahan sikap pada guru-guru pengembang. Diskusi yang diantaranya mencakup tentang pentingnya rencana pelaksanaan pembelajaran tersebut mampu menanamkan kesadaran para guru pengembang. Mereka sadar atas anggapan yang keliru selama ini, dan berjanji akan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran setiap kali akan mengimplementasikannya dalam prosedur pembelajaran. Namun mereka merasa kurang mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dengan baik. karena itu dilaksanakan tindakan yang berupa pelatihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran. Setelah diadakan pelatihan, ternyata pada siklus pertama guru telah menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Meskipun masih ada kekurangannya, setelah mendapat masukan akhirnya pada siklus kedua para guru telah mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari kemampuan: (1) merumuskan kompetensi dasar, (2) mengembangkan materi yang sesuai dengan kompetensi dasar, (3) menetapkan langkah-langkah dan strategi pembelajaran, (4) penetapan alat, media dan sumber pembelajaran, dan (5) merencanakan alat dan prosedur penilaian.
2. Kemampuan Melaksanakan Prosedur Pembelajaran, terutama kaitannya dengan penerapan proses historiografi
Observasi awal terhadap proses belajar mengajar menunjukkan bahwa guru mengajar semata-mata hanya untuk menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pertanyaan yang disampaikan pun hanya sebagai alat untuk menjajagi sejauh mana pengetahuan yang telah disampaikan dapat diserap oleh para siswa. Guru mengajar hanya berorientasi pada buku paket. Hal itu menunjukkan bahwa guru kurang kritis, tidak mencoba mencocokkan apakah materi yang ada dalam buku paket benar-benar telah sesuai dengan tuntutan kurikulum. Terungkap juga bahwa guru mengajar tanpa prosedur yang benar (mengajar tanpa pendahuluan, tetapi langsung menyampaikan materi). Hal itu berarti bahwa guru merasa tidak perlu memahami kondisi siswa, dan merasa tidak perlu untuk membangkitkan motivasi agar siswa ikut terlibat aktif dalam KBM. Bahkan dalam penyajian pun guru hanya menyampaikan dari satu butir materi ke butir berikutnya. Ini berarti guru hanya menekankan aspek koqnitif dengan menyuruh siswanya untuk semata-mata mencatat dan menghafal materi, sedangkan aspek lainnya terabaikan. Padahal materi pembelajaran sejarah tidak lepas dari unsur nilai-nilai affektif.
Setelah diadakan tindakan berupa diskusi tentang hakikat pembelajaran sejarah dan diadakan les model pembelajaran, akhirnya guru pengembang dapat memperbaiki kemampuannya dalam melaksanakan prosedur pembelajaran. Kemajuan tersebut misalnya ditunjukkan oleh Ibu Afiati Budiasih, S.Pd sebagai berikut. Pada siklus 1 guru sudah mampu melaksanakan prosedur pembelajaran dengan baik. Hal itu tampak pada saat: (a) pendahuluan, guru sudah melakukan (appersepsi, memotivasi siswa, dan menjelaskan pokok-pokok materi yang essensial); (b) kegiatan belajar mengajar dilakukan secara sistematis, guru menjelaskan dari satu butir materi ke butir berikutnya; (c) penutupan dilakukan dengan memberi kesimpulan, dan beberapa pertanyaan dilontarkan pada siswa secara acak; (d) guru juga menguasai materi, suaranya jelas, dan perhatian merata. Namun kekurangan yang terlihat adalah: guru menjelaskan terlalu cepat, dan terlalu sering melucu.
Setelah dilakukan penanaman konsep yang benar tentang karakteristik dan manfaat proses historiografi, dan dilanjutkan dengan les model pembelajaran, maka dalam pembelajaran pada siklus 1 guru sudah dapat menerapkan model tersebut dengan benar. Hal itu tampak dari: (a) guru dapat membagi kelompok belajar dengan baik; (b) bersama-sama siswa guru mampu mengidentifikasi permasalahan yang perlu dipecahkan; (c) guru mampu memberi penjelasan tentang tugas yang harus dikerjakan siswa dengan baik, yaing meliputi: historiografi, kritik, interpretasi, dan penyimpulan sehingga siswa dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan baik pula; dan (d) guru mapu memimpin diskusi dalam rangka presentasi hasil kerja kelompok siswa. Meskipun pada saat itu diskusi belum dapat berjalan lancar, karena masih banyak kendala dari pihak siswa.
Beberapa kelemahan yang masih tampak pada siklus 1 di atas, setelah dievaluasi dan direfleksi bersama tim pengembang yang lain, akhirnya diberi beberapa masukan untuk perbaikan rencana tindakan berikutnya. Setelah diadakan perbaikan tindakan, ternyata pada siklus 2 guru dapat memperbaiki beberapa kelemahan yang masih tampak pada siklus 1 sehingga guru semakin mampu melaksanakan prosedur pembelajaran dan semakin terampil dalam menerapkan proses historiografi.
Kemajuan seperti di atas juga dialami oleh Ibu Dra. Suras Harmiawati. Meskipun keduanya berbeda karakteristik, sehingga berbeda pula kelebihan dan kekurangan masing-masing namun pada prinsipnya dari satu siklus ke siklus berikutnya para guru mengalami peningkatan kemampuan dalam melaksanakan prosedur pembelajaran, dan peningkatan keterampilan dalam menerapkan proses historiografi. Dengan kata lain pada siklus 2 para guru pengembang sudah dapat mengoptimalkan penerapan proses historiografi sehingga kualitas pembelajaran pun meningkat. Hal ini juga dibuktikan dengan meningkatnya aktivitas belajar siswa.
3. Kemampuan Melaksanakan Hubungan yang Harmonis di Dalam Kelas
Observasi yang dilakukan sebelum tindakan dalam pengembangan ini dilakukan menunjukkan bahwa guru kurang mampu melaksanakan hubungan antar pribadi yang harmonis, hal itu tercermin dari beberapa indikator berikut ini. Selama mengajar guru hanya menyampaikan materi tanpa berusaha memancing motivasi siswa, akibatnya siswa terkesan kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Guru juga terkesan cuek dan kurang memperhatikan siswanya. Guru tidak menunjukkan sikap yang tegas misalnya menegur siswa yang melanggar tata tertib. Guru juga belum dapat menunjukkan semangat dalam kegiatan belajar mengajar. Hubungan antara guru dan siswa di dalam kelas juga terkesan kaku.
Kelemahan-kelemahan tersebut akhirnya dapat diatasi setelah diadakan tindakan dalam pengembangan ini. Misalnya Ibu Afiati Budiasih pada siklus 1 sudah mampu melaksanakan hubungan antar pribadi yang harmonis. Hal itu tampak dari: sikap guru yang terbuka dan penuh perhatian pada siswa, misalnya jika ada siswa yang tidak dapat menjawab pertanyaan, maka guru tidak segan-segan menuntun dan memberi pancingan ke arah jawaban yang diperlukan. Guru juga sudah menunjukan semangat dalam KBM, misalnya terlihat dari suaranya yang keras dan penguasaan materi. Meskipun demikian pada siklus 1 itu pun masih ada kekurangannya, yaitu sikapnya yang kurang tegas terhadap siswa yang melanggar disiplin kelas. Namun setelah diadakan perbaikan tindakan, maka pada siklus 2 guru dapat mengatasi kelemahan yang ada pada siklus sebelumnya.
Hal yang hampir sama juga dialami oleh Dra. Suras Harmiawati. Pada siklus 1 guru sudah bersikap terbuka dan penuh perhatian kepada siswa, misalnya jika ada siswa yang tidak dapat menjawab pertanyaan guru tidak langsung melempar pertanyaan itu pada siswa lain, namun guru berusaha menuntun jawaban siswa yang bersangkutan. Guru juga bersikap tegas terhadap siswa yang melanggar tata tertib, misalnya jika ada siswa yang terlambat ditegur oleh guru, demikian juga jika ada siswa yang tidak memperhatikan pelajaran. Namun pada saat itu guru tidak memberi penguatan pada siswa yang dapat menjawab pertanyaan, hal itu berarti tidak ada usaha untuk memotivasi agar siswa lebih bersemangat dalam belajar. Bahkan guru sendiri belum dapat menunjukkan semangat dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, misalnya kelihatan dari suaranya yang kurang jelas. Kelemahan tersebut akhirnya juga dapat diatasi setelah diadakan tindakan pada siklus kedua.
Setelah kedua guru pengembang dapat mengatasi hal-hal di atas, ternyata situasi kelas terkesan harmonis dan sangat kondusif bagi siswa, sehingga mereka ikut terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
4. Optimalisasi Penerapan Proses Historiografi Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Masalah rendahnya kualitas pembelajaran yang terungkap dalam pengembangan ini, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut: (1) suasana pembelajaran tidak kondusif, (2) guru menyajikan materi dengan metode ceramah tanpa dikombinasikan dengan metode yang lain, guru terkesan kurang menguasai materi, (3) guru hanya menjelaskan materi dan tidak berusaha memancing motivasi siswa, (4) aktivitas belajar siswa rendah, dan (5) Hubungan antara guru dan siswa di dalam kelas terkesan kaku.
Masalah pembelajaran tersebut kemudian digali lebih dalam dan dianalisis, selanjutnya disepakati bahwa masalah rendahnya kualitas dalam pembelajaran tersebut disebabkan rendahnya kemampuan mengajar guru. Secara lebih rinci rendahnya kemampuan guru dalam mengajar sejarah dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) guru kurang mampu menyusun rencana pelaksanaan Pembelajaran, (2) guru kurang menguasai materi, (3) cara mengajar guru monoton dan membosankan, karena: metode yang dipakai hanya ceramah dengan sedikit sekali dikombinasikan dengan metode tanya jawab, (4) guru kurang mampu melaksanakan prosedur pembelajaran, dan (5) guru kurang mampu melaksanakan hubungan antar pribadi yang harmonis di dalam kelas.
Akhirnya disepakati juga bahwa masalah rendahnya kemampuan mengajar guru yang berakibat pada rendahnya kualitas pembelajaran, sangat mungkin bersumber pada faktor kejenuhan siswa terhadap cara mengajar guru yang monoton, dan kurang menantang siswa yaitu dengan metode ceramah. Setelah diadakan sharing ideas mengenai karakteristik, prosedur dan manfaat penggunaan proses historiografi, selanjutnya disepakati bahwa masalah tersebut dapat diatasi dengan optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran sejarah.
Rendahnya kualitas pembelajaran akhirnya dapat diatasi melalui optimalisasi penerapan proses historiografi. Upaya tersebut dilakukan melalui beberapa tindakan berupa: (1) diskusi tentang pembelajaran sejarah, (2) diskusi tentang metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah, khususnya mengenai proses historiografi, (3) Pelatihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan (4) Les model pembelajaran. Kegiatan ini selain dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola PBM, juga dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan dalam menerapkan proses historiografi. Setelah diadakan tindakan-tindakan tersebut, secara bertahap dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, dari satu siklus ke siklus berikutnya guru semakin meningkat kemampuannya dalam menerapkan proses historiografi dalam pembelajaran sejarah.
Sejalan dengan optimalisasi penerapan proses historiografi dalam kegiatan belajar mengajar meningkat juga kualitas pembelajarannya. Hal ini juga ditandai dengan meningkatnya aktivitas belajar siswa. Pengamatan yang dilakukan sebelum diadakan tindakan pada pengembangan ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa rendah. Hal ini tercermin dari: siswa pasif dalam mengikuti pelajaran, tidak ada yang bertanya, kalau ditanya tidak ada yang menjawab, kalau ditunjuk baru menjawab, itu pun dengan jawaban yang sekenanya.
Setelah diadakan beberapa tindakan, yang diantaranya berupa penanaman konsep tentang metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah (khususnya proses historiografi); dan les model pembelajaran yang difokuskan pada peningkatan ketrampilan dalam menerapkan proses historiografi, secara bertahap seiring dengan optimalisasi penerapan proses historiografi meningkat juga aktivitas belajar siswa. Karena melalui proses historiografi siswa dapat melakukan kegiatan sendiri mulai dari: mencari dan mengumpulkan sumber (heuristik), menganalisa sumber (kritik), menafsirkan (interpretasi), menyimpulkan, sampai pada langkah mempresentasikan hasil kerjanya. Kegiatan tersebut cukup menantang dan tidak menjemukan, sehingga semua siswa dapat terlibat aktif dalam semua tahapan kegiatan tersebut.
5. Pembahasan
Apa yang telah diuraikan di atas menjadi landasan dan sekaligus sebagai kerangka acuan bagi pelaksanaan pengembangan ini. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi masalah dalam pengembangan ini adalah rendahnya kualitas pembelajaran sejarah di SMA Negeri Colomadu. Tim pengembang berkeyakinan bahwa masalah rendahnya kualitas pembelajaran dapat diperbaiki melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran sejarah. Ternyata tindakan yang telah dilakukan oleh tim pengembang menjadi kenyataan, bahwa optimalisasi penerapan proses historiografi berdampak positif terhadap kualitas pembelajaran. Temuan ini selaras dengan teori-teori yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa dalam kegiatan belajar mengajar, tugas guru adalah mengorganisasi atau mengatur lingkungan dan menghubungkannya dengan siswa, sehingga terjadi proses belajar.
Sedangkan dalam pembelajaran sejarah, guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi, justru siswa lah yang mengumpulkan, mengolah, menafsirkan, dan menyimpulkan sumber-sumber dengan berbagai cara. Sedangkan guru berperan sebagai pembimbing aktivitas siswa. Model pembelajaran seperti inilah yang disebut proses historiografi.
Setelah model ini diterapkan dalam pembelajaran sejarah, ternyata kualitas pembelajaran dapat meningkat. Peningkatan kualitas pembelajaran ini tercermin dari peningkatan kemampuan mengajar guru. Kemampuan mengajar guru, terutama kaitannya dengan keterampilan dalam menerapkan proses historiografi pada gilirannya juga dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam pengembangan ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara teoritis maupun empiris. Secara teoritis tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh tim pengembang didukung oleh teori-teori yang relevan dengan masalah yang dihadapi oleh guru sejarah. Secara empiris telah terbukti bahwa apa yang telah dilakukan oleh tim pengembang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah.
Simpulan dan Saran
Rendahnya kualitas pembelajaran sejarah di SMA Negeri Colomadu dapat diperbaiki melalui optimalisasi penerapan proses historiografi. Keduanya secara bertahap mengalami peningkatan setelah diadakan tindakan dalam pengembangan ini. Tindakan-tindakan yang yang dimaksud adalah sebagai berikut:: (1) diskusi tentang pembelajaran sejarah, (2) diskusi tentang metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran sejarah, dan khususnya difokuskan pada penanaman konsep tentang proses historiografi, (3) pelatihan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan (4) les model pembelajaran, yang juga ditekankan pada peningkatan keterampilan guru dalam menerapkan proses historiografi, yang meliputi langkah-langkah: (a) pembagian kelompok, (b) identifikasi dan perumusan masalah, (c) heuristik, (d) kritik, (e) interpretasi, (f) penyimpulan, dan (g) penyajian.
Sejalan dengan peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan proses historiografi, meningkat juga kualitas pembelajarannya. Perbaikan kualitas pembelajaran itu tercermin dari beberapa indikator, yaitu: (1) kemampuan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) kemampuan melaksanakan prosedur pembelajaran, dan (3) kemampuan melaksanakan hubungan antar pribadi yang harmonis di dalam kelas. Optimalisasi penerapan proses historiografi pada gilirannya juga berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas belajar siswa.
Bertolak dari simpulan di atas, akhirnya dapat diajukan beberapa saran berikut ini:
1. Disinyalir kebanyakan guru sejarah masih mengandalkan metode ceramah sebagai metode utama dalam pembelajarannya, dengan alasan metode ceramah dapat digunakan menyampaikan materi yang banyak dalam waktu yang terbatas. Namun hendaknya disadari bahwa metode tersebut kurang memotivasi dan cukup membosankan siswa. Karena dengan ceramah siswa diposisikan sebagai pihak yang pasif, yang hanya menerima apa yang diberikan oleh gurunya. Untuk itu guru-guru sejarah hendaknya mulai mencobakan berbagai metode dan model pembelajaran yang lebih inovatif, yang memungkinkan siswa dapat terlibat aktif dalam KBM.
2. SMA Negeri Colomadu yang kebetulan dipilih sebagai tempat pengembangan mengenai perbaikan kualitas pembelajaran melalui proses historiografi, diharapkan mempunyai gambaran yang jelas mengenai kualitas pembelajaran (sejarah), dan aktivitas belajar siswanya. Gambaran tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pembinaan di sekolahnya. Model tindakan yang ditawarkan dalam pengembangan ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk tindakan perbaikan kualitas pembelajaran mata pelajaran yang lain. Tentu saja dengan berbagai penyesuaian yang relevan dengan masing-masing guru dan mata pelajaran yang bersangkutan.
3. Hubungan kemitraan antara guru (sekolah) dengan dosen (LPTK) yang telah terbina melalui kegiatan pengembangan ini hendaknya lebih dikembangkan lagi. Dengan hubungan yang baik, dosen dapat menggali berbagai permasalahan, pengalaman, dan kultur yang ada di sekolah yang nantinya sangat bermanfaat sebagai bahan pembekalan terhadap mahasiswanya yang tidak lain adalah sebagai calon guru. Sebaliknya guru juga dapat menimba berbagai ilmu yang sangat bermanfaat bagi pengembangan profesi pada umumnya, dan perbaikan kualitas pembelajaran pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bank, James A., (1985). Teaching Strategies for the Social Studies, New York: Longman, Inc.
Craig, Robert C., Mehrens, William A., dan Clarizio, Harvey F., (1975). Contemporary Educational Psychology. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Dick, Walter, dan Reiser, Robert A. (1989). Planning Effective Instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Dressel, Paul L., dan Marcus, Dora. (1982). On Teaching and Learning in College. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Eggen, Paul D., Kauchak, Donald P., dan Harder, Robert J. (1979). Strategies for Teachers, Information Processing Models in The Classroom. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice Hall.
Engkosjwara, (1986). Kecenderungan Kehidupan di Indonesia Menjelang Tahun 2000 dan Implikasinya terhadap Sistem Pendidikan, Jakarta: Intermedia.
Fullan, M.G. (1992). The New Meaning of Educational Change. New York: Teachers College.
Gottschalk, Louis. (1981). Understanding History: A Primary of Historical Method (terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: Uneversitas Indonesia Press.
Hamid Hasan (1985). Pengajaran sejarah antara Harapan dan Kenyataan. Makalah. Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta.
Hicks, Wm. Vernon, et. Al. (1970). The New Elementary School Curriculum. Canada: D. Van Nostrand Company, Ltd.
Hopkins, David., (1993). A Teacher’s Guide to Classroom Research. Bristol: Open University Press.
Kasihani Kasbolah, (2001). Penelitian Tindakan Kelas, Malang: Universitas Negeri Malang.
Kauchak, Donald P., dan Eggen, Paul D., (1993). Learning and Teaching, Research-Based Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Lucio, William H., dan Mc Neil, John D. (1969). Supervision: a Synthesis of Thought and Action. New York: McGraw Hill Book Company.
Mays, P. (1974). Why Teach History?, London: University of London Press.
Nasution, S. (1995). Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sylvester, D. (1973). Teaching History, London: Grom Helm, Ltd.
Tilaar, H.A.R. (1993). “Dirregulasi Pendidikan Nasional dalam Rangka Implementasi UU No 2 Tahun 1989 pada Repelita VI’. Buletin LPMP, No. 4. Jakarta: LPMP – IKIP Jakarta.
Widya, I Gde, (1989). Pengantar Ilmu Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar